selamat datang di web magai

Cari dalaman disini

Kamis, 02 Desember 2010

Masyarakat Yogyakarta Kecewa Pidato Presiden SBY

Berita Terpopuler

  • Wall Street Terus membaik
  • Jemaah Haji Diimbau Tidak Memaksakan Arbain
  • Ada Pameran Bonsai di Pendopo Pemkab Ponorogo
  • Pasokan Dikurangi, Premium Langka
  • Pedagang Kecil Menolak Dipajaki
  • Korban Gempa Protes Anggota DPRD Bima
  • Tetangga Tak Mengira Nabila Kabur
  • Masyarakat Yogyakarta Kecewa Pidato Presiden SBY
  • Jenazah Pilot Pesawat Latih Ditemukan
  • Sangat Lelah, Gayus Kembali ke Rutan Cipinang


Tim Liputan 6 SCTV


Artikel Terkait

  • Presiden-Sultan Berjabat Tangan
  • Sultan Enggan Berdebat dengan Presiden
  • Kalla: SBY Tak Salah Menyampaikan Soal DIY
03/12/2010 06:53
Liputan6.com, Yogyakarta: Setelah kecewa dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta, masyarakat Kota Gudeg berharap pidato Presiden bisa mengobatinya. Kamis (2/12), mereka pun serius mendengarkan pidato itu melalui acara nonton bareng yang digelar di beberapa posko keistimewaan. Dalam sepekan terakhir, posko keistimewaan ramai dibentuk warga terkait tidak jelasnya pemerintah pusat menyikapi keistimewaan Yogyakarta [baca: Presiden SBY: Sri Sultan Tetap Terbaik].

Namun, harapan itu sirna. Menurut mereka, pidato Presiden SBY tidak memuaskan karena tak secara tegas menjelaskan soal keistimewaan Yogyakarta. "Sangat tidak memuaskan karena logikanya segera berpikir melangkah ke rencana untuk penetapan, tapi ternyata masih memikir sampai lima tahun ke depan," kata Sukiman, Ketua Paguyuban Duku. "Terkesan mengulur-ulur waktu ini, dia, saya katakan Presiden yang cuci tangan dengan Undang-undang Keistimewaan."


"Pidato SBY masih mengambang, masih belum ada kejelasan," ucap Gunawan, pedagang. "Masih belum ada kejelasan jika belum ada penetapan seperti yang diinginkan banyak masyarakat di Yogya," komentar Dasa Saputra, karyawan swasta.


Kekecewaan rakyat Yogya bermula dari draft RUU Keistimewaan Yogyakarta. Pasal 11, misalnya, menempatkan Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam hanya sebagai simbol, penjaga budaya, serta pemersatu warga Yogja. Sedangkan kepala pemerintahan, yaitu gubernur dan wakil gubernur dipilih sesuai dengan perundang-undangan.


Sebagian warga Yogya menilai draft RUU tersebut melupakan jasa besar Yogyakarta dan Keratonnya pada Republik Indonesia di masa revolusi. Padahal, begitu republik ini terbentuk, Kerajaan Ngayogyakarta bersama Kadipaten Paku Alaman langsung menyatakan bergabung. Bahkan saat situasi keamanan di Jakarta bergolak, Januari 1946, Ibu Kota Republik dipindahkan ke Yogyakarta hingga Desember 1949.


Saat itu, semua kegiatan dan pembiayaan negara ditanggung Kesultanan Ngayogyakarta. Atas jasa itulah, Maret 1950 keluar Undang-undang nomor 3 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah undang-undang kemudian muncul dan tidak sedikitpun mengusik Keistimewaan Yogyakarta. Baru pada RUU yang masih akan dibahas bersama DPR, rakyat Yogyakarta ingin memastikan keistimewaan itu tidak hilang.(BOG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar