Pendapat tersebut disampaikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Gusti Putu Artha, di Jakarta, Kamis (6/5). Putu mengatakan, seperti kesepakatan yang telah dibuat oleh KPU, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), serta pihak Papua, saat ini telah dibentuk tim kecil yang akan meminta pendapat hukum dari MA mengenai surat keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) Nomor 14 Tahun 2009, yang mensyaratkan kepala daerah di tanah Papua harus orang Papua asli.
“Untuk pilkada di Papua yang telah kami serahkan, KPUD-nya merevisi jadwal penyelenggaraan pilkada, akan menunggu pendapat hukum dari MA mengenai surat Keputusan MRP. Jadi apa pun nanti pendapat hukum yang diberikan oleh MA, itu yang akan kita sebarkan dan kita jalankan,” kata Putu.
Menurut Putu, pendapat hukum yang dikeluarkan oleh MA sangat penting karena akan menjadi sinkronisasi yuridis antara dua produk hukum yang berbeda tafsir, yaitu SK MRP Nomor 14 Tahun 2009 dan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Dengan demikian, diharapkan gejolak politik yang saat ini muncul di Papua dapat diredam dan pilkada bisa berjalan dengan lancar.
Selain itu, Putu juga mengungkapkan, telah menonaktifkan 19 anggota KPUD beberapa daerah di Papua melalui pembentukan Dewan Kehormatan (DK) karena dianggap telah melanggar kode etik dalam menjalankan tugasnya. “Setelah kelompok kerja (pokja) pilkada terbentuk, kami langsung melakukan evaluasi terhadap seluruh anggota KPUD dan hasilnya, kami telah menonaktifkan 19 anggota KPUD karena kesalahannya dalam menyelenggarakan pemilu yang lalu dan dianggap tidak pantas untuk menyerahkan penyelenggaraan pilkada di Papua kepada mereka,” ungkap Putu.
Flores Timur
Sementara itu, untuk masalah penyelengaraan pilkada di Flores Timur, anggota KPU lainnya, Andi Nurpati Baharuddin, mengatakan, hasil rapat pleno KPU memutuskan untuk meminta KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menunda tahapan pilkada di Flores Timur. Andi menambahkan, hasil pleno KPU juga memutuskan agar KPU Provinsi NTT segera membentuk DK untuk mengklarifikasi adanya pelanggaran kode etik oleh KPUD Flores Timur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
“Kami masih berharap KPUD Flores Timur mau merevisi keputusannya sehingga pilkada akan dapat berjalan dengan baik dan sesuai jadwal. Tetapi karena sampai saat ini KPUD Flores Timur tetap tidak mau merevisi keputusannya, kami meminta KPU Provinsi membentuk DK untuk mengklarifikasi indikasi pelanggaran kode etik dan menunda pilkada,” ungkap Andi.
Hal yang sama juga akan dilakukan kepada KPUD Manado karena KPUD Manado menolak untuk meyelenggarakan pilkada secara serentak dengan daerah lainnya dan Provinsi Sulawesi Utara. Untuk itu, KPU juga meminta KPU Sulawesi Utara membentuk DK untuk KPU Manado sehingga tidak mengganggu jalannya tahapan pilkada.
“Pendapat KPU sama dengan Bawaslu dan Panwaslu Sulut yang menganggap KPUD Manado telah melanggar kode etik dengan menolak menyelenggarakan pilkada serentak di Sulawesi Utara dengan alasan yang tidak jelas dan spesifik,” tutur Andi.(cr-10)